Cerita Warga Pengungsi Banjir Medan: Dari Kehilangan Rumah hingga Menunggu Bantuan
Pendahuluan
Musim penghujan kembali membawa kabar duka bagi warga Medan. Curah hujan ekstrem yang mengguyur beberapa hari terakhir menyebabkan puluhan kawasan terendam banjir parah, mulai dari Medan Helvetia, Medan Sunggal, Marelan, hingga Medan Tuntungan. Ribuan warga terpaksa mengungsi ke posko darurat, meninggalkan rumah dan barang-barang mereka yang terendam air setinggi pinggang hingga dada orang dewasa.
Di balik data dan laporan resmi, selalu ada kisah warga yang menjadi korban langsung. Cerita tentang kehilangan, perjuangan bertahan, hingga harapan akan bantuan dan pemulihan. Artikel ini merangkum beberapa kisah pengungsi banjir Medan yang menggambarkan betapa beratnya dampak bencana ini bagi masyarakat. NERAKA888
1. Rumah Roboh Diterjang Arus: Kisah Pak Darwis dari Medan Helvetia

Di pojok posko pengungsian, seorang pria berusia sekitar 55 tahun duduk sambil memeluk tas kecil berisi pakaian. Namanya Pak Darwis, warga Lingkungan 12 Medan Helvetia.
Saat banjir datang, air masuk sangat cepat. Dalam hitungan menit, ketinggian air naik hingga hampir satu meter. Arus deras membuat sebagian dinding rumahnya yang sudah rapuh akhirnya roboh.
“Gak sempat selamatkan apa-apa, Bang. Bawa baju sama surat-surat penting aja yang bisa kusambar,” tuturnya sambil menahan tangis.
Kini, ia tidak tahu bagaimana memperbaiki rumahnya yang tinggal setengah. Ia masih menunggu bantuan pemerintah—setidaknya bantuan material untuk membangun ulang tempat tinggalnya.
2. Ibu dan Anak Bertahan di Posko: Cerita Bu Nur yang 3 Hari Tidak Masak

Bu Nur, ibu dua anak, sudah tiga hari berada di posko pengungsian di kawasan Sunggal. Ia bekerja sebagai pedagang kecil, tetapi seluruh barang dagangannya ikut terendam.
Ia bercerita bahwa selama banjir, ia bahkan tidak sempat memasak karena dapurnya terendam dan listrik padam.
“Anak-anak minta makan panas, tapi apa daya. Syukurnya di posko ini ada dapur umum. Tapi ya itu, ramai kali bang. Antri panjang,” ujarnya.
Bu Nur hanya berharap kondisi cepat pulih agar ia bisa kembali bekerja. Karena tanpa dagangan, pemasukan keluarganya terhenti total.
3. Lansia Terjebak Banjir: Sesosok Nenek yang Diselamatkan Perahu Relawan

Relawan SAR menceritakan satu momen dramatis saat menyelamatkan seorang nenek berusia 78 tahun yang terjebak di lantai dua rumahnya di daerah Marelan.
Sang nenek sulit bergerak dan tinggal sendirian. Ketika air naik, ia tidak bisa turun untuk meminta bantuan.
“Kalau kami datang agak lambat, mungkin sudah lain ceritanya,” kata salah satu relawan.
Kisah ini memperlihatkan betapa pentingnya evakuasi cepat, terutama untuk warga lansia yang rentan.
4. Anak-Anak yang Kehilangan Tempat Bermain dan Sekolah

Salah satu dampak besar yang jarang dibicarakan adalah kondisi anak-anak pengungsi.
Banyak sekolah yang terendam, buku rusak, seragam hanyut, dan kegiatan belajar mengajar otomatis terhenti. Anak-anak harus tidur berjejal di dalam tenda, tanpa ruang bermain, tanpa fasilitas belajar.
Beberapa anak menangis karena kehilangan hewan peliharaannya yang terseret banjir. Ada juga yang tidak punya pakaian kering karena semua baju terseret arus.
Bagi mereka, trauma banjir adalah pengalaman yang sulit dilupakan.
5. Menunggu Bantuan: Distribusi yang Tidak Merata

Meski bantuan telah mengalir dari pemerintah, donatur, dan organisasi masyarakat, tidak semua titik pengungsian mendapat suplai yang sama rata. Ada posko yang kelebihan mie instan, sementara posko lain kekurangan selimut dan air bersih.
Beberapa warga mengeluh karena mereka belum mendapat bantuan logistik meski sudah tiga hari mengungsi.
“Kami butuh selimut, obat-obatan, sama makanan bayi. Kalau mie instan aja ya anak kecil mana bisa makan,” kata seorang ibu muda.
Distribusi bantuan masih jadi tantangan terbesar.
6. Dampak Banjir bagi Ekonomi Warga

Banjir bukan hanya merusak rumah, tapi juga mata pencaharian:
- Pedagang kecil kehilangan stok dagangan.
- Pengojek tidak bisa bekerja karena jalan tergenang.
- Karyawan toko tidak bisa masuk kerja karena kawasan tempat usaha ditutup.
- UMKM mengalami kerusakan alat produksi.
Banyak warga mengaku tabungannya terkuras karena harus membeli keperluan darurat. Situasi ini membuat mereka semakin rentan secara ekonomi.
7. Harapan Warga: Relokasi, Normalisasi Sungai, dan Tanggul Baru

Ketika ditanya apa yang paling mereka harapkan setelah ini, sebagian besar warga menjawab hal yang sama: solusi permanen.
Mereka berharap agar:
- Sungai yang melintasi pemukiman dinormalisasi
- Drainase kota diperbaiki
- Tanggul diperkuat
- Daerah rawan dipertimbangkan untuk relokasi
Warga lelah jika setiap tahun harus mengungsi. Mereka ingin kepastian bahwa rumah yang mereka tinggali aman dari banjir besar.
Kesimpulan
Cerita-cerita warga pengungsi banjir Medan bukan sekadar angka dalam laporan resmi—ini adalah kisah nyata tentang kehilangan, ketidakpastian, dan harapan. Banjir tahun ini menjadi pengingat bahwa mitigasi bencana tidak boleh ditunda. Perlu ada langkah jangka pendek dan panjang agar masyarakat tidak terus menjadi korban setiap musim hujan datang.
Selama bantuan terus mengalir dan solidaritas tetap kuat, warga Medan bisa melewati masa sulit ini. Namun, solusi permanen tetap menjadi kunci agar bencana serupa tidak lagi melumpuhkan kehidupan ribuan warga.